judul : Budaya dan Masyarakat
penulis : Kuntowijoyo
penerbit : tiara wacana
harga : Rp. 31.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
SINOPSIS
Pada uraian awal ini Kuntowijoyo akan
membahas dan memusatkan perhatiannya pada proses simbolis. Yaitu pada kegiatan
manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada
pengalaman sehari-hari. Proses simbolis ini meliputi bidang-bidang agama,
filsafat, seni ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa. Ada beberapa cara untuk
mencari hubungan antara simbol dan masyarakat. Menheimen mencoba mencari
hubungan antara suatu kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan
pikiran serta kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan pikiran serta
modus pikiran yang mendasari sosiologi pengetahuannya. Dengan melepaskan
estetika Marxis dan beberapa catatan berikut, tulisan ini ingin meninjau
perkembangan sejarah Indonesia dalam kaitanya dengan kreativitas simbolis.
Catatan itu adalah, pertama, kita harus
meninggalkan konsepsi determinis yang secara tegar menghubungkan antara kondisi
sosial dan superstruktural. Kondisi sosial ekonomi tidak secara langsung
dikaitkan dengan superstruktural, melainkan melalui jaringan yang kompleks dari
langkah-langkah antara.derajat otonomi dan ketergantungan produk-produk
spiritual berbeda-beda tergantung dari kodratnya, sehingga, misalnya, otonomi
hasil-hasil kesenian tentu lebih besar daripada otonomi cita-cita politik.
Menurut Abell salah satu mata rantai yang menghubungkan antara kondisi ekonomi
dan superstruktur budaya itu ialah psikologi. Kita harus sadar kompleksitas
kejiwaan yang terlibat dalam pembentukan imajeri dan menghindari
kecenderungan yang menyamakan tipe pernyataan budaya tertentu dengan mentalitas
suatu kelas atau sistem ekonomi. Abell mengemukakan teorinya tentang dasar
psiko-historik dari budaya pada suatu masa, yaitu bahwa suatu tipe imajeri
merupakan penjelamaan dari ketegangan sosial dibawahnya.
Kedua, bahwa tulisan ini tidak
semata-mata mengenai tradisi sosiologisme atau Marxisme, akan tetapi dari
penggunaan konsep sejarah idealis tentang semangat zaman. Kita juga berpendapat
bahwa dalam kurun sejarah tertentu masyarakat dari berbagai kepentingan sosial
dapat saja mempunyai cita-cita dan cita-rasa keindahan yang sama, terutama
tatkala kurun sejarah itu benar-benar merupaakn satuan yang integral.
Demikian misalnya, dalam masyarakat patrimonial raja dan petani dapat
mempunyai cita-cita dan cita-rasa yang sama, karena mereka mempunyai cita-cita
dan cita-rasa yang sama. Dengan kelonggaran-kelonggaran berpikir seperti inilah
penulis ingin mendasari analisa mengenai dasar-dasar sosio-historik dari proses
simbolis di Indonesia.
Sebuah istilah yang mengundang perdebatan adalah
tentang hubungan antara agama dan seni dalam sistem budaya Islam di Jawa. Sangat
penting kiranya untuk diketahui bagaimana unsur-unsur estetis hadir dalam
sistem keagamaan dan sebaliknya, bagaiaman unsur-unsur agama hadir dalam
kesenian Islam. Selanjutnya, kita akan membicarakan permasalahan seni Islam,
pendekatan-pendekatannya dan di sana-sini juga asumsi-asumsi awal sebagai
ilustrasi yang bersifat sementara.
Sedikit ilustarasi akan menjelaskan bagaimana
perbedaan sikap agama-agama terhadap seni. Menurut Weber, agama orgiastik cenderung
mengembangkan nyanyian dan musik, agama ritualistik cenderung kepada
seni-seni piktorial, dan agama yang menganjurkan cinta akan menyukai
perkembangan puisi dan musik. Demikian juga terjadi perbedaan antara Katolik
dan Protestan. Para penganut Protestan melihat seni dalam Katolik sebagai
kekanakan tetapi sebaliknya Katolik melihatnya sebagai sesuatu yang akrab dan
menyenangkan. Protestanisme yang telah mengalami proses rasionalisasi itu telah
meletakkan agama dan seni dalam suatu jarak tertentu dengan melihat seni lebih
pada semangat daripada bentuk formal.
Dengan latar belakang Islam kita ingin
memandang elemen estetis didalam agama Islam itu. Yang pertama kita harus
mengetahui pengertian ritual dalam Islam ada dua macam, yaitu wajib (harus)
dan sunnah (dianjurkan). Diluar ketentuan yang sudah ada kedudukan
teologi adalah bid’ah (baru). Keduua, dalam tulisan ini elemen estetis
ritual yang dikmaksudkan ialah substansinya, bukan sekedar atributnya. Jadi
misalkan keindahan lagu dalam shalat tidak termasuk sebagai elemen estetis
dalam ritual tetapi hanya atribut. Menurut Iqbal dalam The Reconstruction
of Religion Thought in Islam, kebanyakan gerakan sufi melarang penggunaan
musik dalam peribadatan untuk menghindarkan pengalaman yang seluruhnya bersifat
emosional. Sebab, Islam memilih pengalaman keagamaan yang natural dan mempunyai
makna biologis yang sangat penting bagi pertumbuhan ego.
Seni sebagai gejala yang mempunyai kaitan dengan
sistem kepercayaan, dapat pula dilihat dalam seni musik Jawa. Judith Becker
menulis bahwa melodi musik Jawa sesuai dengan konsep waktu siklus dalam sistem
pengetahuan Jawa. Satu siklus (gongan) dapat dibagi menjadi setengah
oleh kenong, menjadi seperempat oleh kempul, seperdelapan
oleh kethuk, seperenambelas oleh saron, dan sepertigapuluh
dua oleh bonang barung. Ini sesuai dengan sistem kalender bulan yang
disebut asta-wara, suatu lingkaran yang selalu kembali pada hitungan
ke delapan.
Sehubungan dengan musik, kita ingat bagamana
gamelan sekaten mengandung suatu ide. Pada hemat penulis, gamelan itu mempunyai
suasana mistik. Rupanya gamelan yang menggunakan kesunyian sebagai bagian
integral dari komposisinya, lebih menegaskan suasana fana bagi yang sedang
menjalani suluk. Setiap gong terasa sebagai simbol bagi
tercapainya suatu tingkat (maqam) tertentu setelah orang beralih
dari suasana zikir dan sunyi secara bergantian. Dugaan ini bisa dikuatkan
dengan ritual yanh harus dikerjakan oleh para penabuhnya yang mirip dengan
persiapan seorang salik. Melodi, ritme, harmoni, dan dinamik gamelan
sekaten adalah perjalanan suci menuju Tuhan. Dalam hal ini kita mengalami
kesulitan dalam menentukan mana yang ritual dan mana yang seni. Barangkali
gamelan sekaten adalah sintesa yang berhasil antara agama dan seni.
Untuk menemukan hubungan antara Islam dan seni
itu sendiri perlu adanya serangkaian penelitian dan pendekatan. Mempelajari
seni Islam di Jawa dengan pendekatan interdisipliner, setidaknya menyangkut:
Sistematisasi
Pengkajian ini berusaha untuk
meneliti tema, bentuk, dan gaya kesenian, representasional maupun yang
diskursif.
Mencari Asal dan Evolusi
(Pendekatan Genetik)
Pengkajian genetik dan evolusi
berusaha menelusuri asal-usul sebuah bentuk kesenian dari segi pertumbuhannya.
Memahami Konteks Sosial
Kesenian
Pada kajian konteks sosial
kesenian dan sosiologi kesenian, mencoba menghubungkan kesenian dengan
kesadaran kolektif, struktur sosial, dan fungsi kesenian dalam struktur itu;
dengan singkat , kajian mengenai lingkungan sosial kesenian, kumpulan cerita
pendek Djamil Suherman, Umi Kalsum, telah melukiskan masyarakat
pesantren, kesadarannya dan pernyataan simbolisnya dengan sangat tepat.
Mobilitas dan Difusi
Kajian ini membahas mobilitas
dan difusi kesenian, berusaha untuk meneliti perpindahan (migrasi) sebuah
gejala seni secara horisontal dari daerah ke daerah, kota ke desa dan
sebaliknya dan dari kelompok-kelompok seperti kelompok petani ke pegawai
negeri, gejala seni tentu akan mengalami perubahan.
Pengkajian Tekstual
Pengkajian tekstual dapat
menjadi sangat menarik apabila sebuah kesenian mengandung unsur-unsur teks.
Dari teks kita dapat mengetahui pengalaman mental masyarakat juga sistem
kepercayaan akan nampak dalam pengkajuan tekstual ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar