Penulis: Pramoedya Ananta
Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Harga buku : Rp. 105.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Terjual
Sinopsis
ARUS BALIK, adalah sebuah epos
pasca kejayaan Nusantara sebagai kekuatan dan kesatuan maritim pada awal abad
16.
Seperti yang dituliskan oleh Joesoef Isak (editor) dalam catatan Penerbit tahun 1995 yang diperbarui, Arus Balik adalah suatu epos pasca kejayaan Majapahit pada saat arus zaman membalik, pada saat segalanya berubah – kekuasaan di laut menjadi kekuatan darat yang mengkerut di pedalaman, kemuliaan menukik ke dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan dalam penalaran, kesatuan dan persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan.
Semasa jaya Gajah Mada di Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari Selatan ke Utara, segalanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya, cita-cita dan citranya, semua bergerak dari Nusantara di Selatan ke “Atas Angin” di Utara.
Kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke Utara.
Tapi zaman berubah ……
Arus berbalik, bukan lagi dari Selatan ke Utara tetapi sebaliknya dari Utara ke Selatan. Utara kuasai Selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara. Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya sampai saat ini.
Arus raksasa menggelombang dari Utara menghempas Nusantara mundur ke Selatan – yang tertinggal hanya negara/kota kecil-kecil di pesisir Utara Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-kaki pegunungan. Mundur, mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya secara geografis, tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang mengganti nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman, pedalaman yang tak akan mampu disentuh oleh siapapun, pedalaman dimana bisa dibangun kekuasaan paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya. Akhirnya Arus Balik bukan hanya lagi kisah tentang para Sultan dan Adipati Nusantara dan Jawa, tapi juga kisah tentang manusia Nusantara, manusia Jawa, kultur Jawa, kisah tentang “Javanese mind” dengan berbagai perwatakannya. Kebesarannya, kearifannya, kemunafikannya, dan eufemismenya.
Kejayaan Majapahit pernah hampir diulang oleh Adipati Unus dari Jepara, putera Sultan Demak Raden Patah, dengan menyerang Portugis di Malaka. Walaupun kalah dan terluka, Jepara sudah pernah mendatangi Portugis di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah pernah pernah menyerang Portugis, dan akan mendatangi lagi kelak. Berbeda dengan Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta, keturunan Ranggalawe, teman seperjuangan Raden Wijaya. Tuban pernah menjadi andal-andalnya Majapahit dengan armada kapal perang yang besar serta kekuatan angkatan darat dengan pasukan gajah yang tak terkalahkan. Adipati Tuban Wilwatikta tidak suka memerangi Portugis, melainkan lebih mengutamakan perdagangan semata. Demikian juga dengan Sultan Trenggono, adik Adipati Unus yang menggantikannya menjadi Raja di Demak, lebih suka memerangi tetangganya sendiri untuk menguasai Jawa seluruhnya daripada bersatu guna memerangi Portugis.
Wiranggaleng, pemuda desa sederhana, menjadi tokoh protagonist dalam epos kepahlawanan yang maha dahsyat ini. Dia bertarung sampai ke pusat kekuatan Portugis di Malaka, memberi segala-galanya, walau hanya secauk pasir sekalipun, untuk membendung arus Utara, “Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil, menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari Selatan ke Utara. Atas angin sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai lagi”.
Kejayaan persatuan dan kesatuan Indonesia dilahirkan oleh gelora kebaharian, sebaliknya kawasan-kawasan pedalaman agraris mengungkung wawasan berpikir, cenderung membentuk watak kerdil dan kemunafikan akibat tiadanya sentuhan gemuruh gelombang lautan. Maka benar sekali ucapan Pramoedya, Indonesia tak habis-habisnya dirundung masalah integrasi dan tersendat perkembangannya, disebabkan sebagai kekuatan bahari Indonesia sejak merdeka justru selalu diatur oleh kekuasaan di darat dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, malah meminggirkan masalah kebaharian.
Masih dapatkan arus balik membalik lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar