Selasa, 31 Maret 2015

BEREBUT KIRI

Judul : BEREBUT KIRI Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926
Penulis: Zainul Munasichin
Penerbit : Lkis
Kondisi : Baru

Harga buku: Rp. 63.000

Pemesanan : sms 085878268031/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/ empuonline@gmail.com/ twitter : @empuonline




Sinopsis

Dalam kajian sejarah Indonesia wacana “kiri” pernah menjadi sebuah kecenderungan utama. Ia seperti mengisyaratkan sebuah gugatan, sebuah upaya untuk berkata “tidak” pada satu rezim yang selalu berpihak kepada orang kuat, sebuah upaya menolak kooptasi modal dan membela mereka yang lemah. Namun, sejak rezim Orde Baru bertakhta, wacana kiri (atau kekiri-kirian) menjadi sesuatu yang haram untuk dijamah. Stigma yang dimunculkan; “kiri” itu penggangu, perusuh, dan ancaman bagi “stabilitas nasional”.

Stigma itu kini memang belum pudar benar dari bawah sadar masyarakat Indonesia. Tetapi, sejak Orde Baru lengser, kita bisa merasakan munculnya benih-benih kesadaran bahwa wacana kiri perlu diperkenalkan kembali. Terutama wacana-wacana sejarah menyangkut marxisme, sosialisme, atau komunisme, yang muncul pada awal abad ke-20 (1912-1926), sebagai respons terhadap kemerosotan-kemerosotan ekonomi akibat industrialisasi Hindia-Belanda.


Para aktivis gerakan pada masa itu menggunakan kerangka analisis ketiganya untuk membedah ketimpangan sosial dan penghisapan ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap kaum Bumi Putra. Ilham dari ketiga ajaran besar itu datang dari Karl Marx, filsuf besar Jerman, pikiran itu sangat populer di kalangan pribumi karena semangatnya yang dekat dengan pembebasan dan emansipasi. “Kiri” saat itu memang seksi, heroik, dan penuh pesona, dalam waktu sekejap, pikiran-pikiran Marx menyebar luas dan menjadi semacam ‘cetak biru’ bagi pergerakan aktivis pribumi, terbukti banyaknya organisasi pergerakan yang hidup kala itu menjadikan Marxisme sebagai ideologi perjuangan.

Berangkat dari realitas pembacaan sejarah awal marxisme di Indonesia ini, Zainul Munasichin, penulis buku ini, memetakan lacakan sejarah berawal dari berdirinya Budi Oetomo yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai titik paling penting. Kelompok ini ditokohi oleh Dr. Wahidin, Tjipto Mangun Kusumo, dan Dr Radjiman Widiodiningrat. Gerakan ini bertujuan mewadahi kepentingan golongan priyayi semata, gerakan yang dipandegani oleh kelompok siswa Stovia yang kemudian menyebar ke berbagai daerah.

Penulis menuturkan bahwa pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam (SDI) mengubah namanya menjadi Serikat Islam (SI), kemudian organisasi ini tidak lagi menjadi organisasi perdagangan, tetapi secara jelas berlahan-lahan orientasi memajukan umat Islam. Pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1914, secara resmi paham marxisme menjadi kegemawan wacana dan gerakan sosial para intelektual. Sekaligus dengan hadirnya HJFM Sneevliet yang mendirikan partai Indiscge Social Democratische Vergining (ISDV) yang merupakan partai kiri pertama kali di Asia.

Partai ini kemudian dengan sekuat tenaga mencoba menyebarkan gagasannya tentang kerakyatan, dan proletarian, masa itu anggota ISDV hampir kebanyakan orang Belanda. Kemudian ISDV (agar gerakannya mudah di Indonesia) merangkul kelompok SI, banyak kalangan SI tertarik dengan ide-ide ISDV seperti pimpinan SI Semarang, Semaun, H Misbach, dan Darsono.

Simpati terhadap ISDV kemudian menguat, setelah terjadi keretakan dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Keretakan itu berujung pada pecahnya organisasi tersebut menjadi dua kubu: SI Merah dan SI Putih. SI Merah, yang berhaluan marxis, dimotori oleh SI Semarang dengan tokoh-tokohnya: Semaoen, Bergsma, Darsono, dan Tan Malaka. Sedangkan SI Putih, yang berafiliasi pada Islam, didukung oleh SI cabang Surabaya yang ditokohi oleh Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.

Sejak itu, wacana kiri mengalami diaspora. Beragam tafsir wacana kiri bermunculan. Sebagian mencoba mengawinkan gagasan Marx dengan Islam, namun tak sedikit yang membuang Marxisme dan cuma mengambil semangat pembebasan darinya. Berbagai kelompok saling mengklaim dirinya sebagai pihak yang paling berhak mewarisi semangat Marx. Tak jarang, hal itu diikuti konflik antara mereka.

Buku ini mencatat bahwa dari wacana-wacana kiri yang berkembang, dapat dipetakan tiga kelompok utama. Pertama, Sosialisme Islam yang diwakili oleh Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Bagi mereka, ajaran-ajaran Islam tentang keadilan dan pembebasan kaum lemah sudah cukup dijadikan acuan. Tidak perlu lagi mengacu pada marxisme. Pendek kata, Sosialisme Islam adalah sosialisme minus Marxisme.

Kelompok kedua adalah Komunisme Islam, dengan H. Misbach dan Haroenrasjid sebagai pendukung utamanya. Berbeda dengan kelompok yang pertama, mereka lebih tegas menarik afiliasi Islam dengan komunisme. Bagi H. Misbach dkk., ajaran Islam dan komunisme tidak perlu dipertentangkan, karena secara idiologis, keduanya bermuara pada hal yang sama: pembebasan kaum lemah.

Pertentangan itu kemudian bermuara pada persoalan teologis ketuhanan dan teologis material. Namun, hal yang sangat menarik di tengah rebutan tafsir tentang keabsahan Islam dan komunisme, ternyata ada sebagian kelompok (ketiga) yang malah mencoba melihat wacana kiri dari perspektif tradisi (Jawa), misalnya dilakukan Marco Kartodikromo lewat penulisan ulang Babad Tanah Jawa. Selain Marco, masih ada nama-nama lain, seperti Tjiptomangoenkoesoemo, Mangoenatmodjo, dan R. Sr. Kornio. Mereka banyak menggunakan idiom Jawa untuk mobilisasi masyarakat Jawa dalam menentang imperialisme, seperti mereka menyebut era kapitalisme saat itu sebagai “zaman edan”, sembari mengutip pernyataan terkenal pujangga besar Jawa, Ranggawarsita. Dan simbol Jawa mereka gunakan untuk arah gerak perlawanan.

Dengan gamblang buku yang terdiri dari enam bagian besar ini menunjukkan bagaimana perebutan wacana kiri itu berlangsung. Dipandu dengan metode arkeologi Foucault, yang membaca dokumen-dokumen sejarah secara diskursif, kita dibawa menjelajah sejenak ke awal abad ke-20 silam, ketika gagasan-gagasan kiri (dan marxian) disambut dengan penuh antusias, sebagai sesuatu yang baru dan mencerahkan.

Tentunya hadirnya buku ini juga sebagai romantisme sejarah masa lalu, mengingatkan kita pada para aktivis di tahun 1980-1999 yang banyak gandrung dengan wacana kiri sebagai gerakan menentang rezim Orba serta sebagai wahana intelektual yang tersebar di kampus-kampus, di lorong-lorong kelompok diskusi. Juga munculnya kebebasan wacana kiri di Indonesia di tahun 2000-an menjadi simbol kebudayaan pop banyak anak muda dan aktivis diskusi tentang Marxisme di kafe, hotel, sampai trotoar. Geliat inilah yang memunculkan “kiri” menjadi budaya tren sesaat, tidak lagi menjadi basis ideologis seperti di masa H. Misbach, Hos Cokroaminoto, Semaun, Soekarno dan Alimin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar