Penulis: Zainul Munasichin
Penerbit : Lkis
Kondisi : Baru
Harga buku: Rp. 63.000
Pemesanan : sms 085878268031/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/ empuonline@gmail.com/ twitter : @empuonline
Sinopsis
Dalam
kajian sejarah Indonesia wacana “kiri” pernah menjadi sebuah kecenderungan
utama. Ia seperti mengisyaratkan sebuah gugatan, sebuah upaya untuk berkata “tidak”
pada satu rezim yang selalu berpihak kepada orang kuat, sebuah upaya menolak
kooptasi modal dan membela mereka yang lemah. Namun, sejak rezim Orde Baru
bertakhta, wacana kiri (atau kekiri-kirian) menjadi sesuatu yang haram untuk
dijamah. Stigma yang dimunculkan; “kiri” itu penggangu, perusuh, dan ancaman
bagi “stabilitas nasional”.
Stigma
itu kini memang belum pudar benar dari bawah sadar masyarakat Indonesia.
Tetapi, sejak Orde Baru lengser, kita bisa merasakan munculnya benih-benih kesadaran
bahwa wacana kiri perlu diperkenalkan kembali. Terutama wacana-wacana sejarah
menyangkut marxisme, sosialisme, atau komunisme, yang muncul pada awal abad
ke-20 (1912-1926), sebagai respons terhadap kemerosotan-kemerosotan ekonomi
akibat industrialisasi Hindia-Belanda.
Para
aktivis gerakan pada masa itu menggunakan kerangka analisis ketiganya untuk
membedah ketimpangan sosial dan penghisapan ekonomi yang dilakukan Belanda
terhadap kaum Bumi Putra. Ilham dari ketiga ajaran besar itu datang dari Karl
Marx, filsuf besar Jerman, pikiran itu sangat populer di kalangan pribumi
karena semangatnya yang dekat dengan pembebasan dan emansipasi. “Kiri” saat itu
memang seksi, heroik, dan penuh pesona, dalam waktu sekejap, pikiran-pikiran
Marx menyebar luas dan menjadi semacam ‘cetak biru’ bagi pergerakan aktivis
pribumi, terbukti banyaknya organisasi pergerakan yang hidup kala itu
menjadikan Marxisme sebagai ideologi perjuangan.
Berangkat
dari realitas pembacaan sejarah awal marxisme di Indonesia ini, Zainul Munasichin,
penulis buku ini, memetakan lacakan sejarah berawal dari berdirinya Budi Oetomo
yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai titik paling penting. Kelompok ini
ditokohi oleh Dr. Wahidin, Tjipto Mangun Kusumo, dan Dr Radjiman
Widiodiningrat. Gerakan ini bertujuan mewadahi kepentingan golongan priyayi
semata, gerakan yang dipandegani oleh kelompok siswa Stovia yang kemudian
menyebar ke berbagai daerah.
Penulis
menuturkan bahwa pada tahun 1912 Serikat Dagang Islam (SDI) mengubah namanya
menjadi Serikat Islam (SI), kemudian organisasi ini tidak lagi menjadi
organisasi perdagangan, tetapi secara jelas berlahan-lahan orientasi memajukan
umat Islam. Pada tahun berikutnya, sekitar tahun 1914, secara resmi paham
marxisme menjadi kegemawan wacana dan gerakan sosial para intelektual.
Sekaligus dengan hadirnya HJFM Sneevliet yang mendirikan partai Indiscge Social
Democratische Vergining (ISDV) yang merupakan partai kiri pertama kali di Asia.
Partai
ini kemudian dengan sekuat tenaga mencoba menyebarkan gagasannya tentang
kerakyatan, dan proletarian, masa itu anggota ISDV hampir kebanyakan orang
Belanda. Kemudian ISDV (agar gerakannya mudah di Indonesia) merangkul kelompok
SI, banyak kalangan SI tertarik dengan ide-ide ISDV seperti pimpinan SI
Semarang, Semaun, H Misbach, dan Darsono.
Simpati
terhadap ISDV kemudian menguat, setelah terjadi keretakan dalam tubuh Sarekat
Islam (SI). Keretakan itu berujung pada pecahnya organisasi tersebut menjadi
dua kubu: SI Merah dan SI Putih. SI Merah, yang berhaluan marxis, dimotori oleh
SI Semarang dengan tokoh-tokohnya: Semaoen, Bergsma, Darsono, dan Tan Malaka.
Sedangkan SI Putih, yang berafiliasi pada Islam, didukung oleh SI cabang
Surabaya yang ditokohi oleh Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Sejak
itu, wacana kiri mengalami diaspora. Beragam tafsir wacana kiri bermunculan.
Sebagian mencoba mengawinkan gagasan Marx dengan Islam, namun tak sedikit yang
membuang Marxisme dan cuma mengambil semangat pembebasan darinya. Berbagai
kelompok saling mengklaim dirinya sebagai pihak yang paling berhak mewarisi
semangat Marx. Tak jarang, hal itu diikuti konflik antara mereka.
Buku
ini mencatat bahwa dari wacana-wacana kiri yang berkembang, dapat dipetakan
tiga kelompok utama. Pertama, Sosialisme Islam yang diwakili oleh Tjokroaminoto
dan H. Agus Salim. Bagi mereka, ajaran-ajaran Islam tentang keadilan dan
pembebasan kaum lemah sudah cukup dijadikan acuan. Tidak perlu lagi mengacu
pada marxisme. Pendek kata, Sosialisme Islam adalah sosialisme minus Marxisme.
Kelompok
kedua adalah Komunisme Islam, dengan H. Misbach dan Haroenrasjid sebagai
pendukung utamanya. Berbeda dengan kelompok yang pertama, mereka lebih tegas
menarik afiliasi Islam dengan komunisme. Bagi H. Misbach dkk., ajaran Islam dan
komunisme tidak perlu dipertentangkan, karena secara idiologis, keduanya
bermuara pada hal yang sama: pembebasan kaum lemah.
Pertentangan
itu kemudian bermuara pada persoalan teologis ketuhanan dan teologis material.
Namun, hal yang sangat menarik di tengah rebutan tafsir tentang keabsahan Islam
dan komunisme, ternyata ada sebagian kelompok (ketiga) yang malah mencoba
melihat wacana kiri dari perspektif tradisi (Jawa), misalnya dilakukan Marco
Kartodikromo lewat penulisan ulang Babad Tanah Jawa. Selain Marco, masih ada
nama-nama lain, seperti Tjiptomangoenkoesoemo, Mangoenatmodjo, dan R. Sr.
Kornio. Mereka banyak menggunakan idiom Jawa untuk mobilisasi masyarakat Jawa
dalam menentang imperialisme, seperti mereka menyebut era kapitalisme saat itu
sebagai “zaman edan”, sembari mengutip pernyataan terkenal pujangga besar Jawa,
Ranggawarsita. Dan simbol Jawa mereka gunakan untuk arah gerak perlawanan.
Dengan
gamblang buku yang terdiri dari enam bagian besar ini menunjukkan bagaimana
perebutan wacana kiri itu berlangsung. Dipandu dengan metode arkeologi
Foucault, yang membaca dokumen-dokumen sejarah secara diskursif, kita dibawa
menjelajah sejenak ke awal abad ke-20 silam, ketika gagasan-gagasan kiri (dan
marxian) disambut dengan penuh antusias, sebagai sesuatu yang baru dan
mencerahkan.
Tentunya
hadirnya buku ini juga sebagai romantisme sejarah masa lalu, mengingatkan kita
pada para aktivis di tahun 1980-1999 yang banyak gandrung dengan wacana kiri
sebagai gerakan menentang rezim Orba serta sebagai wahana intelektual yang
tersebar di kampus-kampus, di lorong-lorong kelompok diskusi. Juga munculnya
kebebasan wacana kiri di Indonesia di tahun 2000-an menjadi simbol kebudayaan
pop banyak anak muda dan aktivis diskusi tentang Marxisme di kafe, hotel,
sampai trotoar. Geliat inilah yang memunculkan “kiri” menjadi budaya tren sesaat,
tidak lagi menjadi basis ideologis seperti di masa H. Misbach, Hos
Cokroaminoto, Semaun, Soekarno dan Alimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar