Penulis: Katrin Bandel
Penerbit : Pustaha Hariara
Kondisi : Baru
Harga buku: Rp. 56.000
Pemesanan
: sms 085878268031/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Pengantar Katrin Bandel
Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam
penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai
sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian
mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam
jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha
memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan
peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai
perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di
manakah saya berdiri?
Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai
perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan
tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin
berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India
Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi:
I will have
in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student,
politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t
speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the
other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a
certain degree of rage against the history that has written such an abject
script for you that you are silenced?’
(Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197)
(Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1
yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang,
karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki
borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan
situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka,
tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan
kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat
tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah
menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat
bicara?’)
Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit
putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat
dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang
sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki
borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi
kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian
berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun
global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau
hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut
bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar
pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini
tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang
berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis
tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain
kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat
perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial,
Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan
tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih?
Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih
adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di
atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya
pilihan adalah diam.
Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang
Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa
tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan
Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah
disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila
saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat),
saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan
Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis
internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain,
saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang
diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum
tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri
kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut.
Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam
karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai
tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam
tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient”
(“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah
entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara
substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif
yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara
langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang
bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik
saling menopang.
Di dunia akademis, orientalisme antara lain
mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi
mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas
sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami
banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman,
fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama
“Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya
Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun
bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu
sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang
sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik
dan di Papua.
Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan
relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat
mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut
dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media
akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang
budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu
mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara
otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap
dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya
hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak
jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya
lewat tulisan peneliti asing (orientalis).
Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis,
saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara
institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap
dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu
sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di
bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah
menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya
Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut,
dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu,
usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan
tersebut pun banyak dilakukan.
Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang
timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat
kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun
tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori
lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih
kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam
perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di
mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris
mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu
saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan.
Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap
dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu
mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris,
tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali
bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan
wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan
menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang
jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat
respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi
tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada
tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut.
Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit
niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa
keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh,
tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru
pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang
“salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai
indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa
Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia
terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia
sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk
menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap
asyik menulis dalam bahasa Indonesia.
Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam
bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya
kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan
global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian,
perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi
keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya
rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu
saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme,
paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar