Penulis:
Penerbit : Insist
Kondisi : Baru
Harga buku: Rp. 30.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Natal akhir tahun yang lalu dirasakan kurang
begitu afdal bagi sejumlah warga Goettingen, sebuah kota kecil di antara
Frankfurt am Main dan Hamburg (Jerman). Biasanya pada saat Natal, hanya warna
putih salju menghampar menutupi halaman. Berbeda dengan tahun sebelumnya,
ketebalan salju bahkan mencapai tiga puluh sentimeter, pun seonggok salju masih
enggan muncul di Natal yang lalu. Serta-merta mereka mengaitkannya dengan
perubahan iklim. Saat ini berbagai perbincangan dan diskusi di forum ilmiah
maupun di warung-warung kopi di desa terpelosok sering mengaitkan
ketidakberesan alam (nature irregularities) dengan berubahnya iklim bumi. Bisa
dikatakan, paling tidak dalam dua puluh tahun terakhir, perubahan iklim cukup
menyita perhatian umat manusia di muka bumi.
Berbagai riset dan laporan ilmiah banyak yang
mendokumentasikan gejala berubahnya iklim bumi. Tentu saja yang banyak menjadi
acuan adalah laporan yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) yang mencatat bahwa suhu permukaan bumi telah meningkat 0,76°C
dan suhu terkini merupakan suhu tertinggi yang pernah dicatat oleh sejarah
sejak 1850 (IPCC 2007). Belum lagi catatan mengenai peningkatan suhu laut,
lelehnya gletser, dan meningkatnya tinggi muka laut (IPCC 2007), yang semakin
menambah kecemasan akan keniscayaan perubahan iklim. Diperkirakan bahwa jika
suhu bumi terus meningkat sampai 2°C akan timbul malapetaka mengerikan bagi
kemanusiaan dan lingkungan (WWF 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam waktu
dua dekade mendatang rata-rata suhu bumi akan naik sekitar 0,4°C (IPCC 2007).
Walaupun ada bantahan dari sekelompok ilmuwan (lihat Climate Change
Reconsidered, Idso dan Singer 2009), keyakinan akan berubahnya iklim terus
bergulir, terlebih dengan dirilisnya An Inconvenient Truth sekitar enam tahun
yang lalu.
Walaupun produksi sains untuk membuktikan
berubahnya iklim bumi seakan-akan tanpa batas, penyebab dan dampak perubahan
iklim masih mengundang banyak kontroversi (Leroy et al. 2010). Seperti
hipotesis bahwa akar masalah perubahan iklim adalah “keserakahan” umat manusia
(IPCC 2007: 10), yang masih sering mendapat berbagai bantahan skeptis (Idso dan
Singer 2009, lihat juga The Skeptical Environmentalist, Lomborg 2001).
Sementara itu, waktu terus bergulir. Masalah perubahan iklim membutuhkan
respons yang cepat sehingga harus ada intervensi kebijakan tepat dan nyata.
Sayang, belum ada interface yang mulus antara sains dan kebijakan perubahan iklim (lihat Driessen et al. 2010, From
Climate Change to Social Change: Perspectives on Science-Policy Interactions).
Spektral dampak yang dikatakan sudah menyentuh aspek humanitas, kesenjangan
sosial, dan ketidakadilan (Houser et al. 2008) menyebabkan kebijakan untuk
mengurangi laju memanasnya bumi lebih banyak terdistorsi kepentingan politik.
Edisi ini mengulas bagaimana kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim
seringkali menanggalkan logika pikir sains dan lebih banyak dikendalikan oleh
politik, dengan fokus peran lahan gambut (Indonesia) dan secara sporadis
sumberdaya hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar