Kamis, 12 Desember 2013

Jurnal Wacana 27 Lahan Gambut dan Perubahan Iklim : Distoris Sains, Politik dan Kebijakan



Judul : Jurnal Wacana 27 Lahan Gambut dan Perubahan Iklim : Distoris Sains, Politik dan Kebijakan
Penulis:
Penerbit : Insist
Kondisi : Baru

Harga buku: Rp. 30.000

Pemesanan : sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/

Sinopsis

Natal akhir tahun yang lalu dirasakan kurang begitu afdal bagi sejumlah warga Goettingen, sebuah kota kecil di antara Frankfurt am Main dan Hamburg (Jerman). Biasanya pada saat Natal, hanya warna putih salju menghampar menutupi halaman. Berbeda dengan tahun sebelumnya, ketebalan salju bahkan mencapai tiga puluh sentimeter, pun seonggok salju masih enggan muncul di Natal yang lalu. Serta-merta mereka mengaitkannya dengan perubahan iklim. Saat ini berbagai perbincangan dan diskusi di forum ilmiah maupun di warung-warung kopi di desa terpelosok sering mengaitkan ketidakberesan alam (nature irregularities) dengan berubahnya iklim bumi. Bisa dikatakan, paling tidak dalam dua puluh tahun terakhir, perubahan iklim cukup menyita perhatian umat manusia di muka bumi.

Berbagai riset dan laporan ilmiah banyak yang mendokumentasikan gejala berubahnya iklim bumi. Tentu saja yang banyak menjadi acuan adalah laporan yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang mencatat bahwa suhu permukaan bumi telah meningkat 0,76°C dan suhu terkini merupakan suhu tertinggi yang pernah dicatat oleh sejarah sejak 1850 (IPCC 2007). Belum lagi catatan mengenai peningkatan suhu laut, lelehnya gletser, dan meningkatnya tinggi muka laut (IPCC 2007), yang semakin menambah kecemasan akan keniscayaan perubahan iklim. Diperkirakan bahwa jika suhu bumi terus meningkat sampai 2°C akan timbul malapetaka mengerikan bagi kemanusiaan dan lingkungan (WWF 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam waktu dua dekade mendatang rata-rata suhu bumi akan naik sekitar 0,4°C (IPCC 2007). Walaupun ada bantahan dari sekelompok ilmuwan (lihat Climate Change Reconsidered, Idso dan Singer 2009), keyakinan akan berubahnya iklim terus bergulir, terlebih dengan dirilisnya An Inconvenient Truth sekitar enam tahun yang lalu.
Walaupun produksi sains untuk membuktikan berubahnya iklim bumi seakan-akan tanpa batas, penyebab dan dampak perubahan iklim masih mengundang banyak kontroversi (Leroy et al. 2010). Seperti hipotesis bahwa akar masalah perubahan iklim adalah “keserakahan” umat manusia (IPCC 2007: 10), yang masih sering mendapat berbagai bantahan skeptis (Idso dan Singer 2009, lihat juga The Skeptical Environmentalist, Lomborg 2001). Sementara itu, waktu terus bergulir. Masalah perubahan iklim membutuhkan respons yang cepat sehingga harus ada intervensi kebijakan tepat dan nyata. Sayang, belum ada interface yang mulus antara sains dan kebijakan perubahan iklim (lihat Driessen et al. 2010, From Climate Change to Social Change: Perspectives on Science-Policy Interactions). Spektral dampak yang dikatakan sudah menyentuh aspek humanitas, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan (Houser et al. 2008) menyebabkan kebijakan untuk mengurangi laju memanasnya bumi lebih banyak terdistorsi kepentingan politik. Edisi ini mengulas bagaimana kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim seringkali menanggalkan logika pikir sains dan lebih banyak dikendalikan oleh politik, dengan fokus peran lahan gambut (Indonesia) dan secara sporadis sumberdaya hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar