Penulis: Prof . Dr. Sartono
Kartodirdjo
Penerbit : Pustaka Jaya
Kondisi : POD
Harga buku: Rp. 80.000
Pemesanan
: sms 085878268031/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam
tulisannya ini mengulas tentang pemberontakan petani di Banten yang tidak menginginkan sistem
mordenisasi. Dengan dibantu olah para bangsawan dan golongan elit agama petani
melakukan pemberontakan terhadap adanya kebudayaan Barat. Tetapi dalam
prakteknya para petani justru bersifat pasif dan hanya dijadikan sebagai alat
oleh para bangsawan dan elit agama untuk memberontak agar tetap berpegang pada
kesultanan atau sistem tradisional. Buku tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
ini merupakan bentuk terjemahan dari buku asli yang berjudul The Peasents’ Revolt of Banten in 1888.
Pemberontakan
yang terjadi di ujung barat laut pulau Jawa tepatnya di distrik Anyer merupakan
salah satu pemberontakan yang terjadi di Banten selama abad XIX. Pemberontakan ini berlangsung secara
singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888. Hal ini juga merupakan satu bentuk ledakan
sosial yang melanda seluruh wilayah pulau Jawa pada waktu itu. Ledakan sosial
ini juga diwarnai dengan adanya gerakan-gerakan mileneri serta gerakan kebangkitan kembali agama dengan
wajah membentuk sekolah –sekolah agama dan perkumpulan mistik agama.
Dalam Bab II membahas tentang latar
belakang sosio-ekonomis Banten. Di Banten yang letaknya agraris membuat
masyarakatnya mayoritas sebagai petani padi. Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1520 oleh
pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah. Fungsi sultan adalah memberikan perlindungan
sehingga sultan menguasai perokonomian, mobilisasi produksi sebagai penujang
rumah tangganya, keluarganya serta pejabat-pejabat negara. Kemudian kasultanan dihapuskan
oleh pemerintah Deandels, yang meliputi daerah pesisir utara serta wilayah-wilayah lain terdiri dari
daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di
Sumatera bagian Selatan.
Abad
XIX merupakan periode dimana Indonesia mengalami pergolakan-pergolakan sosial
yang mengakibatkan perubahan sosial akibat masuknya kebudayaan Barat yang seakan-akan menguasai Indonesia,
masuknya budaya Barat membawa
perubahan terhadap system masyarakat tradisional menjadi modernisasi. Kebudayaan Barat menciptakan
peraturan-peraturan, yaitu dengan diberlakukannya sistem uang, memunculkan
buruh upaha, adanya
administrasi yang terpusat, perpajakan yang seragam, serta adanya sarana-sarana
komunikasi yang lebih modern. Dari sinilah muncul rasa ketidak adilan serta
frustasi oleh masyarakat khususnya para petani yang tidak menginginkan
diadakanya pajak. Di daerah-daerah, agama mempunyai peranan yang sangat
penting, akhirnya para petani mengemukakan gagasan-gagasan milenarinya kepada para pemuka agama dengan maksud
pemuka agama melancarkan gagasan-gagasannya itu.
Dalam
pemberontakan petani anggotanya tidak semata-mata hanya terdiri dari kaum
petani saja, pemberontakan ini dipimpin oleh para kaum elit pedesaan seperti
pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat, atau orang-orang yang termasuk
kalangan terhormat. Dalam arti yang terbatas pemberontakan yang terjadi pada
abad XIX di Indonesia dapat dikatakan
sebagai pemberontakan petani yang murni, pemimpin-pemimpinya merupakan satu
golongan elit yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan serta visi sejarah yang sudah turun-temurun
mengenai akan datangnya ratu adil dan
mahdi dalam. Pemuka-pemuka agamalah yang
telah memberikan kepopuleran kepada ramalan-ramalan tersebut dan
menerjemahkanya kedalam perbuatan dengan maksud menarik massa rakyat untuk
memberontak, anggota-anggota pergerakan tersebut terdiri dari petani, yang
dipimpin oleh guru agama atau pemimpin mistik. Akan tetapi para kaum elit
pedesaan tidaklah mempunyai pengetahuan tentang politik yang sangat kuat, dan hanya mengandalkan ramalan-ramalan
saja tidak membuat pemberontakan berjalan dengan lama. Pemberontakan petani
Banten dianggap sebagai pemberontakan yang tidak besar.
Pada
umumnya peranan kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan Banten,
mereka hanyalah bersikap pasif. Dalam pemberontakanya petani meberikan tekanan
yang besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintah pada umumnya dan kepada
soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaanya, dan jarang berbuat yang
melampaui tingkat struktur-struktur formal. Sejarah kaum petani di Indonesia
dalam historiografi kolonial meperlihatkan sifat mereka yang datar dan seragam,
namun ia mengandung arus-arus yang mengalir terus-menerus sampai zaman modern.
Selain dari pada itu masuknya
kebudayaan Barat membawa perubahan yang melahirkan golongan-golongan sosial
baru dan menimbulkan re-stratifikasi dalam masyarakat Banten, serta adanya perbedaan segi sosio-ekonomis oleh
golongan-golongannya. Re-stratifikasi masyarakat Banten mengakibatkan kaum
bangsawan, yakni aristokrasi tradisional menjadi miskin sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan
politik.
Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum
aristokrasi tradisional dan kaum petani masih berpegang pada sistem
tradisional. Dalam banyak hal mereka bekerja sama untuk melawan penetrasi
sistem Barat. Berbeda dengan kaum elit agama yang gerakan politiknya
diperketat oleh Belanda membuat kaum
elit agama mengalami perasaan tersingkirkan. Akhirnya kaum elit agama bergabung
dengan aristokasi tradisional dan para petani yang masih berpegang pada sistem
tradisional. Munculnya golongan baru ini dapat diidentifikasikan aristokrasi
moderen yang terdiri dari pegawai negeri dan birokrat. Golongan ini mengajurkan
pada mordenisasi akan tetapi golongan lama tetap berpegang pada sistem
tradisional. Akhirnya terjadi pertentangan antara golongan lama dan golongan
baru.
Munculnya kekuatan Belanda dalam sistem
politik Banten membuat situasi semakin tidak terkendali. Hal ini yang akan
dibahas dalam Bab III. Seiring dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang
silih berganti. Pemerintahan kolonial membentuk satu sistem birokrasi yang
memaksakan peraturan-peraturan yang tidak sah kepada rakyat. Setelah kaum
bangsawan mengalami kemerosotan dan kemiskinan membuat elit agama menjadi
berperan penting dalam memberontak pemerintahan kolonial untuk tetap berpegang
pada tradisional. Pemimpin-pemimpin agama mengadakan mobilisasi kaum tani juga
menunjukan kegiatan Agitasi terhadap elit baru dan penguasa-penguasa kolonial.
Mereka menggunakan gerakan-gerakan yang radikal dan milenari, akan tetapi elit
baru justru ingin ikut arus mordenisasi yang diciptakan oleh pemerintahan
kolonial.
Dalam Bab IV diulas tentang runtuhnya
kesultanan membuat Banten mengalami pergolakan sosial yang sudah sangat parah.
Ketidakadanya suatu kekuatan membuat sistem tatanan di Banten menjadi carut
marut. Nilai-nilai tradisional selalu bertabrakan dengan nilai-nilai moderen.
Kekuatan pemerintah kolonial yang kuat di Banten tidak membuat rakyat hormat
dan tunduk pada pemerintakan kolonial. Munculnya tindakan-tindakan kriminal
seperti; perampokan, pembegalan, pencurian serta tindakan-tindakan lain yang
melanggar hukum membuat pejabat-pejabat lokal tidak bisa menjaga dan mengatur
keadaan di daerah-daerah pedesaan. kerusuhan-kerusuhan itu juga didukung oleh
administrasi lokal yang memburuk, ketidak berdayaan polisi serta adanya
dukungan oleh rakyat jelata.
Keadaan yang terjadi di Banten pada abad
XIX tidak saja dianggap sebagai pergolakan sosial yang mengubah tatanan
kehidupan tetapi juga sebagai tempat munculnya kebangkitan agama, hal ini yang
akan diulas pada Bab V. Dijelaskan bangkitnya kembali agama, selama pertengahan
abad XIX terjadi kenaikan jumlah orang yang naik haji. Karena adanya pencerahan
dari orang-orang yang berdakwah di daerah-daerah, munculnya tarekat-tarekat
islam, dan berkembangnya pesantren. Gerakan-gerakan ini merupakan upaya untuk
mendapatkan simpati serta dukungan dari rakyat. Anggota-anggota tarekat inilah
yang akan dijadikan sebagai kelompok revolusioner yang bertujuan untuk
menggulingkan pemerintahan kolonial.
Tahun 1880-an mulai bermunculannya
semangat ikut fanatisme agama yang menunjukan sikap agresif terhadap
orang-orang Belanda. Hal ini membuat kekhawatiran Belanda terhadap fanatisme
yang menggangap orang-orang Belanda sebagai orang kafir dan membuat Belanda
tidak lagi percaya pada pejabat-pejabat Bantan.
Di dalam masyarakat Banten kiyai memiliki
pesona-pesona kewibawaan serta menjadi pemimpin-pemimpin yang alami. Masyarakat
Banten yang terkesima memberikan kehormatan, sumbanga, mendukung serta mematuhi
kiyai yang berjuang dengan tujuan yang suci, memberantas orang-orang kafir dan
menginginkan sistem tatanan tradisional.
Dalam Bab VI dijelaskan tentang
persiapan-persiapan untuk melancarkan pemberontakan. Setelah mendirikan
pesantren, tarekat serta berdakwah-dakwah para ulama mengobarkan konsep
pemberontakan dengan perang jahil. Tarekat-tarekat dijadikan sebagai alat untuk
menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi antara
komplotan-komplotannya tanpa di ketahui oleh pejabat-pejabat daerah. Tarekat
juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul melakukan zikir, sholat yang
kemudian mempertemukan kiyai sebagai pemimpin dalam revolusioner. Mereka
membahas tentang berbagai strategi-strategi kampanye untuk memberontak
pemerintah Belanda.
Pemimpin-pemimpin gerakan revolusioner
antara lain ; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, serta masih
banyak lagi yang lainnya. Pada tahun 1884 gagasan untuk memberontak pemerintah
Belanda sudah matang, para pemimpin-pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk
melancarkn aksinya tersebut. Para guru tarekat bertugas untuk mencari
murit-muritnya untuk dijadikan pengikut. Gerakan-gerakan ini selalu sibuk
mengadakan perkumpulan-perkumpulan yang membahas tentang strategi
pemberontakan. Kecemasan pemerintah Belanda mulai timbul akibat tumbuh pesatnya
gerkan yang menyatu dengan kehidupan agama rakyat.
Dalam Bab VII melukiskan pemberontakan di
Banten, pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888.
Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus
Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan
serangan terhadap Serang. Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat
pamongpraja, Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih,
wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan
pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam
pemberontakan ini terjadi banyak pertumpahan darah. Di dalam Bab ini telah
dijelaskan secara lengkap dari dimulainya pemberontakan hingga tertangkapnya
para pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Sumber
: http://ferrydwihastutiwibawa.blogspot.com/2013/09/resensi-buku-pemberontakan-petani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar