Sabtu, 01 November 2014

PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888



Judul : PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888
Penulis: Prof . Dr. Sartono Kartodirdjo
Penerbit : Pustaka Jaya
Kondisi : POD

Harga buku: Rp. 80.000

Pemesanan : sms 085878268031/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/

Sinopsis

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam tulisannya ini mengulas tentang pemberontakan petani  di Banten yang tidak menginginkan sistem mordenisasi. Dengan dibantu olah para bangsawan dan golongan elit agama petani melakukan pemberontakan terhadap adanya kebudayaan Barat. Tetapi dalam prakteknya para petani justru bersifat pasif dan hanya dijadikan sebagai alat oleh para bangsawan dan elit agama untuk memberontak agar tetap berpegang pada kesultanan atau sistem tradisional. Buku tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo ini merupakan bentuk terjemahan dari buku asli yang berjudul The Peasents’ Revolt of Banten in 1888.  


Pemberontakan yang terjadi di ujung barat laut pulau Jawa tepatnya di distrik Anyer merupakan salah satu  pemberontakan  yang terjadi di Banten selama abad XIX. Pemberontakan ini berlangsung secara singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888.  Hal ini juga merupakan satu bentuk ledakan sosial yang melanda seluruh wilayah pulau Jawa pada waktu itu. Ledakan sosial ini juga diwarnai dengan adanya gerakan-gerakan mileneri serta gerakan kebangkitan kembali agama dengan wajah membentuk sekolah –sekolah agama dan perkumpulan mistik agama.

Dalam Bab II membahas tentang latar belakang sosio-ekonomis Banten. Di Banten yang letaknya agraris membuat masyarakatnya mayoritas sebagai petani padi. Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah. Fungsi sultan adalah memberikan perlindungan sehingga sultan menguasai perokonomian, mobilisasi produksi sebagai penujang rumah tangganya, keluarganya serta pejabat-pejabat negara. Kemudian kasultanan dihapuskan oleh pemerintah Deandels, yang meliputi daerah pesisir utara  serta wilayah-wilayah lain terdiri dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di Sumatera bagian Selatan.   

Abad XIX merupakan periode dimana Indonesia mengalami pergolakan-pergolakan sosial yang mengakibatkan perubahan sosial akibat masuknya kebudayaan Barat yang seakan-akan menguasai Indonesia, masuknya budaya Barat membawa perubahan terhadap system masyarakat tradisional menjadi modernisasi. Kebudayaan Barat menciptakan peraturan-peraturan, yaitu dengan diberlakukannya sistem uang, memunculkan buruh upaha, adanya administrasi yang terpusat, perpajakan yang seragam, serta adanya sarana-sarana komunikasi yang lebih modern. Dari sinilah muncul rasa ketidak adilan serta frustasi oleh masyarakat khususnya para petani yang tidak menginginkan diadakanya pajak. Di daerah-daerah, agama mempunyai peranan yang sangat penting, akhirnya para petani mengemukakan gagasan-gagasan milenarinya kepada para pemuka agama dengan maksud pemuka agama melancarkan gagasan-gagasannya itu.

Dalam pemberontakan petani anggotanya tidak semata-mata hanya terdiri dari kaum petani saja, pemberontakan ini dipimpin oleh para kaum elit pedesaan seperti pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat, atau orang-orang yang termasuk kalangan terhormat. Dalam arti yang terbatas pemberontakan yang terjadi pada abad XIX di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni, pemimpin-pemimpinya merupakan satu golongan elit yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan serta visi sejarah yang sudah turun-temurun mengenai akan  datangnya ratu adil dan mahdi dalam. Pemuka-pemuka agamalah yang telah memberikan kepopuleran kepada ramalan-ramalan tersebut dan menerjemahkanya kedalam perbuatan dengan maksud menarik massa rakyat untuk memberontak, anggota-anggota pergerakan tersebut terdiri dari petani, yang dipimpin oleh guru agama atau pemimpin mistik. Akan tetapi para kaum elit pedesaan tidaklah mempunyai pengetahuan tentang politik yang sangat kuat, dan hanya mengandalkan ramalan-ramalan saja tidak membuat pemberontakan berjalan dengan lama. Pemberontakan petani Banten dianggap sebagai pemberontakan yang tidak besar.

Pada umumnya peranan kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan Banten, mereka hanyalah bersikap pasif. Dalam pemberontakanya petani meberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintah pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaanya, dan jarang berbuat yang melampaui tingkat struktur-struktur formal. Sejarah kaum petani di Indonesia dalam historiografi kolonial meperlihatkan sifat mereka yang datar dan seragam, namun ia mengandung arus-arus yang mengalir terus-menerus sampai zaman modern. 

Selain dari pada itu masuknya kebudayaan Barat membawa perubahan yang melahirkan golongan-golongan sosial baru dan menimbulkan re-stratifikasi dalam masyarakat Banten, serta adanya perbedaan segi sosio-ekonomis oleh golongan-golongannya. Re-stratifikasi masyarakat Banten mengakibatkan kaum bangsawan, yakni  aristokrasi tradisional menjadi miskin sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan politik. 

Dalam menghadapi disintegrasi sosial, kaum aristokrasi tradisional dan kaum petani masih berpegang pada sistem tradisional. Dalam banyak hal mereka bekerja sama untuk melawan penetrasi sistem Barat. Berbeda dengan kaum elit agama yang gerakan politiknya diperketat  oleh Belanda membuat kaum elit agama mengalami perasaan tersingkirkan. Akhirnya kaum elit agama bergabung dengan aristokasi tradisional dan para petani yang masih berpegang pada sistem tradisional. Munculnya golongan baru ini dapat diidentifikasikan aristokrasi moderen yang terdiri dari pegawai negeri dan birokrat. Golongan ini mengajurkan pada mordenisasi akan tetapi golongan lama tetap berpegang pada sistem tradisional. Akhirnya terjadi pertentangan antara golongan lama dan golongan baru.

Munculnya kekuatan Belanda dalam sistem politik Banten membuat situasi semakin tidak terkendali. Hal ini yang akan dibahas dalam Bab III. Seiring dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang silih berganti. Pemerintahan kolonial membentuk satu sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan yang tidak sah kepada rakyat. Setelah kaum bangsawan mengalami kemerosotan dan kemiskinan membuat elit agama menjadi berperan penting dalam memberontak pemerintahan kolonial untuk tetap berpegang pada tradisional. Pemimpin-pemimpin agama mengadakan mobilisasi kaum tani juga menunjukan kegiatan Agitasi terhadap elit baru dan penguasa-penguasa kolonial. Mereka menggunakan gerakan-gerakan yang radikal dan milenari, akan tetapi elit baru justru ingin ikut arus mordenisasi yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial. 

Dalam Bab IV diulas tentang runtuhnya kesultanan membuat Banten mengalami pergolakan sosial yang sudah sangat parah. Ketidakadanya suatu kekuatan membuat sistem tatanan di Banten menjadi carut marut. Nilai-nilai tradisional selalu bertabrakan dengan nilai-nilai moderen. Kekuatan pemerintah kolonial yang kuat di Banten tidak membuat rakyat hormat dan tunduk pada pemerintakan kolonial. Munculnya tindakan-tindakan kriminal seperti; perampokan, pembegalan, pencurian serta tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum membuat pejabat-pejabat lokal tidak bisa menjaga dan mengatur keadaan di daerah-daerah pedesaan. kerusuhan-kerusuhan itu juga didukung oleh administrasi lokal yang memburuk, ketidak berdayaan polisi serta adanya dukungan oleh rakyat jelata. 

Keadaan yang terjadi di Banten pada abad XIX tidak saja dianggap sebagai pergolakan sosial yang mengubah tatanan kehidupan tetapi juga sebagai tempat munculnya kebangkitan agama, hal ini yang akan diulas pada Bab V. Dijelaskan bangkitnya kembali agama, selama pertengahan abad XIX terjadi kenaikan jumlah orang yang naik haji. Karena adanya pencerahan dari orang-orang yang berdakwah di daerah-daerah, munculnya tarekat-tarekat islam, dan berkembangnya pesantren. Gerakan-gerakan ini merupakan upaya untuk mendapatkan simpati serta dukungan dari rakyat. Anggota-anggota tarekat inilah yang akan dijadikan sebagai kelompok revolusioner yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan kolonial. 

Tahun 1880-an mulai bermunculannya semangat ikut fanatisme agama yang menunjukan sikap agresif terhadap orang-orang Belanda. Hal ini membuat kekhawatiran Belanda terhadap fanatisme yang menggangap orang-orang Belanda sebagai orang kafir dan membuat Belanda tidak lagi percaya pada pejabat-pejabat Bantan. 

Di dalam masyarakat Banten kiyai memiliki pesona-pesona kewibawaan serta menjadi pemimpin-pemimpin yang alami. Masyarakat Banten yang terkesima memberikan kehormatan, sumbanga, mendukung serta mematuhi kiyai yang berjuang dengan tujuan yang suci, memberantas orang-orang kafir dan menginginkan sistem tatanan tradisional.

Dalam Bab VI dijelaskan tentang persiapan-persiapan untuk melancarkan pemberontakan. Setelah mendirikan pesantren, tarekat serta berdakwah-dakwah para ulama mengobarkan konsep pemberontakan dengan perang jahil. Tarekat-tarekat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi antara komplotan-komplotannya tanpa di ketahui oleh pejabat-pejabat daerah. Tarekat juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpul melakukan zikir, sholat yang kemudian mempertemukan kiyai sebagai pemimpin dalam revolusioner. Mereka membahas tentang berbagai strategi-strategi kampanye untuk memberontak pemerintah Belanda. 

Pemimpin-pemimpin gerakan revolusioner antara lain ; Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, serta masih banyak lagi yang lainnya. Pada tahun 1884 gagasan untuk memberontak pemerintah Belanda sudah matang, para pemimpin-pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk melancarkn aksinya tersebut. Para guru tarekat bertugas untuk mencari murit-muritnya untuk dijadikan pengikut. Gerakan-gerakan ini selalu sibuk mengadakan perkumpulan-perkumpulan yang membahas tentang strategi pemberontakan. Kecemasan pemerintah Belanda mulai timbul akibat tumbuh pesatnya gerkan yang menyatu dengan kehidupan agama rakyat.

Dalam Bab VII melukiskan pemberontakan di Banten, pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan serangan terhadap Serang. Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam pemberontakan ini terjadi banyak pertumpahan darah. Di dalam Bab ini telah dijelaskan secara lengkap dari dimulainya pemberontakan hingga tertangkapnya para pemimpin-pemimpin pemberontakan.


Sumber : http://ferrydwihastutiwibawa.blogspot.com/2013/09/resensi-buku-pemberontakan-petani.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar