Penulis: Albert Camus
Penerbit : Jendela
Kondisi : Baru Segel
Harga buku: Rp. 85.000
Pemesanan
: sms 085878268031/ WA 08886824445 / pin BB: 234FB00C/email :
empu_online@yahoo.com/ empuonline@gmail.com/ twitter : @empuonline
Sinopsis
Camus, si pengarang The Outsider adalah filsuf
yang mengenalkan filsafat absurditas. Absurdisme sendiri adalah paham atau
aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti
dan tidak masuk akal (absurd). Kesadaran para pengikut aliran itu terhadap tata
tertib sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat umum.
Novel sastra ini bercerita tentang seorang
laki-laki yang rela mati demi kebenaran. Tokoh kita ini dikenal sebagai orang
yang pendiam, baik dan mengasihi orang yang membutuhkan pertolongan. Awal
cerita bermula dari kematian ibu sang tokoh yang dititipkan di panti wreda.
Pada saat mengunjungi jenasah sebelum proses pemakaman, si tokoh tidak
menunjukkan ekspresi seorang anak yang kehilangan Ibu (Parameter yang berlaku
di masyarakat umum). Reaksi yang dimunculkan si tokoh mengundang gugatan dan
pertanyaan.
Sehari setelah kematian Ibu, laki-laki ini pergi
berenang dan bertemu dengan wanita yang kemudian menjadi kekasihnya. Dan mereka
pergi nonton film komedi malam harinya.
Laki-laki ini juga berkenalan dengan tetangganya
yang bernama Raymond. Raymond menghidupi dirinya dari para wanita. Raymond
menyebutnya sebagai ‘Penjaga Gudang.’ Ada juga seorang tua dengan anjingnya.
Suatu saat Raymond bermasalah dengan seorang
perempuan. Sang tokoh membantu Raymond. Raymond bebas namun kakak dan teman
gadis ini tampaknya tak suka.
Pada suatu hari, Raymond mengajak tokoh dan
kekasihnya berlibur ke pantai, di rumah sahabat Raymond. Di tengah perjalanan
mereka bertemu dengan para lelaki teman wanita Raymond. Mereka sampai di rumah
sahabat Raymond. Ketika Raymond, tokoh dan sahabatnya ini tengah berjalan-jalan
di pantai, para lelaki musuh Raymond muncul. Pertikaian pertama menyebabkan
luka di wajah sahabat Raymond. Perkelahian usai.
Menit berikutnya sang tokoh sedang menyusuri
pantai ketika ia melihat salah satu musuhnya berbaring di pantai. Sang tokoh
meneruskan berjalan tapi kemudian sebuah benda tajam menyentuh pelipisnya. Rasa
asin dan bau darah menerpa penciumannya. Dalam siraman cahaya matahari yang
menyilaukan dan luka yang dialiri bulir-bulir air berwarna merah sehingga
mengaburkan pandangannya, sang tokoh mengeluarkan senapan yang dipinjamkan
sahabat Raymond. Dilepaskannya tembakan sebanyak empat kali.
Singkat cerita, sang tokoh menjadi tawanan dalam
penjara. Ia kemudian di hukum mati.
Tokoh kita ini dalam perenungannya tak habis
mengerti mengapa bukti bersalah yang memberatkan hukumannya adalah berkaitan
dengan sifat-sifat dalam dirinya. Para hakim, jaksa menggugat perilakunya yang
tidak menangisi kematian Ibunya. Mereka beranggapan sang tokoh adalah monster
yang harus dibasmi.
Reaksi sang tokoh yang biasa saja menanggapi
hukuman juga menjadi hal yang mengherankan. Ditampiknya pendeta yang ingin bertemu
untuk melakukan ritual sebelum eksekusi dijalankan, seperti pengakuan dosa dan
menerima penyesalan (tobat) korban. Pendeta mengira sang tokoh dalam
keputusasaan sehingga berperilaku seperti itu. Dan laki-laki itu menjelaskan
bahwa ia tak sedang putus asa. “Aku cuma takut yang menurutku wajar,” kata
laki-laki itu.
Sifat keras kepala laki-laki ini yang tak mau
mengakui dosanya membuat pendeta jengkel. Tampak pada cukilan kalimat berikut
ini.
“Kujelaskan bahwa keadilan itulah yang memvonisku
hukuman mati. Pendeta bilang, hukuman itu tak menghapuskan dosaku sama sekali.
Kubilang aku tak tahu apa dosaku. Aku hanya diputuskan bersalah. Aku bersalah
dan harus membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang bisa diminta dariku.”
Keyakinan sang tokoh begitu besar dan tampak pada
paragraf ini. “Aku mungkin dungu tapi aku yakin atas diri sendiri, yakin akan
semuanya, yakin atas hidupku dan kematian yang mendatangiku. Ya, itulah yang
kumiliki. Tapi setidaknya itu kebenaran yang kupegang sebagaimana kebenaran itu
memegangku. Aku telah hidup dengan cara tertentu, aku juga bisa hidup baik
dengan cara lain. Telah kulakukan ini dan tak kulakukan itu. Aku tak melakukan
satu hal, sebaliknya kulakukan yang lainnya. Lantas kenapa?”
“Tak ada, tak ada sama sekali yang berhak
menangisinya. Aku juga merasa siap menjalani hidupku lagi. Seolah-olah ledakan
besar kemarahan ini telah menyingkirkan semua sakitku, membunuh seluruh
harapanku, kupandang ke atas ke gugusan tanda dan bintang di langit malam dan
membiarkan diri terbuka untuk pertama kali terhadap pengabaian dunia yang
ramah. Kutemukan sangat mirip diriku sendiri, faktanya begitu memiliki rasa
persaudaraan, kusadari bahwa aku bahagia dan tetap bahagia.”
Bagi sang tokoh, hidup bukanlah sesuatu yang
harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup akan berharga jika ia
mempunyai makna. Karena itu walaupun sang tokoh tahu bahwa kematian
membayanginya, ia memilih untuk menghadapinya dengan tegar.
“Dari kedalaman masa depanku, sepanjang seluruh
hidupku yang absurd yang kujalani, aku merasakan tiupan samar-samar berhembus
ke arahku selama bertahun-tahun yang masih akan berhembus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar