Kamis, 03 Oktober 2013

Filsafat Fragmentaris



Judul : Filsafat Fragmentaris
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Kondisi : Baru

Harga buku: Rp 35.000


Pemesanan : sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/

Sinopsis

Ketika manusia mulai mengabsolutkan pemikiran dengan dalih kebenaran agamadan ideologi, maka saat itu jalan kebenaran mulai menyempit, bahkan bisa menutup.Buku ini memberikan peringatan sangat tajam kepada kita agar kita tidak terjatuh pada ranjau absolutisme yang potensial memunculkan kesombongan dan benturan diantara kita. Untuk konteks Indonesia buku ini sangat inspairing dan mencerahkan

Seperti dikatakan sebelumnya, buku Filsafat Fragmentaris adalah sebuah kumpulan tulisan pengarang yang pernah dipublikasikan di berbagai media (hal. 221-222). Budi Hardiman menulis berbagai tema, mulai dari tentang fenomenologi persepsi Maurice Merleau Ponty (hal. 35), pemikiran Hegel dan Kant tentang kesadaran (hal. 67), teori Estetika Walter Benjamin dan Adorno (hal.88), pemikiran Habermas tentang Demokrasi Deliberatif (hal 115), filsafat politik Carl Schmitt, filsafat politik Jacques Derrida, dan filsafat hukum.
Tentu saja, dengan gaya penulisan yang tajam, kuat, dan unik yang dimiliki Budi Hardiman, tema-tema penting di dalam filsafat tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik dengan acuan pada teks-teks asli yang mungkin tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya. Penulis buku ini memang sangat ahli tentang tradisi filsafat Jerman, terbukti dari teks-teks asli filsuf tersebut yang digunakan sebagai acuan.
Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah, apakah dari kumpulan tulisan filsafat semacam itu, kita bisa merumuskan suatu argumen bahwa filsafat itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris, seperti yang dilakukan oleh Budi Hardiman, pengarang buku ini? Memang, jika dipikirkan dalam-dalam, hakekat filsafat adalah fragmentaris, dan tepat itulah yang membedakan filsafat dari ideologi dan agama yang memiliki klaim absolut atas pernyataan-pernyataannya. Itulah argumen yang juga ditawarkan oleh Budi Hardiman.
Akan tetapi, argumen terakhir ini tidak akan pernah bisa didapatkan dari sebuah kumpulan tulisan filsafat yang kemudian didaur ulang menjadi sebuah buku. Pada hemat saya, tesis bahwa filsafat pada hakekatnya bersifat fragmentaris haruslah dijabarkan lebih jauh dengan mengolahnya dari bab per bab dengan mendetil, barulah kesimpulan atau argumen utama buku ini memperoleh keabsahannya, dan bukan dengan kumpulan tulisan-tulisan filsafat yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya.
Alasan inilah yang mendorong saya untuk berargumen, bahwa judul yang tepat untuk buku ini bukanlah Filsafat Fragmentaris, seperti yang diberikan oleh pengarang, melainkan Fragmen-fragmen Filsafat, yakni potongan-potongan refleksi filsafat yang menjangkau berbagai tema dan kemudian disatukan dalam satu buku. Rupanya, ketika berdiskusi di Teater Utan Kayu April 2007 lalu, Rm Sudarminta, kolega pengarang buku ini di STF Driyarkara, memiliki argumen yang serupa dengan saya, sehingga beliau menanyakan itu, ketika diskusi sedang berjalan.
Mengapa lebih tepat disebut sebagai fragmen-fragmen filsafat? Yah, fragmen itu sendiri adalah suatu potongan, suatu pecahan, dan tulisan di dalam buku ini sebenarnya merupakan potongan-potongan penting di dalam sejarah filsafat yang memang layak untuk disimak dan direfleksikan lebih jauh.
Akan tetapi, tesis bahwa filsafat itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris adalah tesis yang, pada hemat saya, terburu-buru untuk dirumuskan, dan terkesan agak dipaksakan untuk buku ini. Jika dibahasakan secara ketat, dari potongan-potongan refleksi di dalam bidang filsafat, kita tidak akan pernah bisa mengambil kesimpulan yang bersifat ontologis, atau mendasar, tentang hakekat filsafat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar