Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Kondisi : Baru
Harga buku: Rp 35.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
Ketika manusia mulai
mengabsolutkan pemikiran dengan dalih kebenaran agamadan ideologi, maka saat
itu jalan kebenaran mulai menyempit, bahkan bisa menutup.Buku ini memberikan
peringatan sangat tajam kepada kita agar kita tidak terjatuh pada ranjau
absolutisme yang potensial memunculkan kesombongan dan benturan diantara kita.
Untuk konteks Indonesia buku ini sangat inspairing dan mencerahkan
Seperti dikatakan sebelumnya, buku Filsafat
Fragmentaris adalah sebuah kumpulan tulisan pengarang yang pernah
dipublikasikan di berbagai media (hal. 221-222). Budi Hardiman menulis berbagai
tema, mulai dari tentang fenomenologi persepsi Maurice Merleau Ponty (hal. 35),
pemikiran Hegel dan Kant tentang kesadaran (hal. 67), teori Estetika Walter
Benjamin dan Adorno (hal.88), pemikiran Habermas tentang Demokrasi Deliberatif
(hal 115), filsafat politik Carl Schmitt, filsafat politik Jacques Derrida, dan
filsafat hukum.
Tentu saja, dengan gaya penulisan yang tajam,
kuat, dan unik yang dimiliki Budi Hardiman, tema-tema penting di dalam filsafat
tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik
dengan acuan pada teks-teks asli yang mungkin tidak perlu diragukan lagi
kredibilitasnya. Penulis buku ini memang sangat ahli tentang tradisi filsafat
Jerman, terbukti dari teks-teks asli filsuf tersebut yang digunakan sebagai
acuan.
Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah, apakah
dari kumpulan tulisan filsafat semacam itu, kita bisa merumuskan suatu argumen
bahwa filsafat itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris, seperti yang
dilakukan oleh Budi Hardiman, pengarang buku ini? Memang, jika dipikirkan
dalam-dalam, hakekat filsafat adalah fragmentaris, dan tepat itulah yang
membedakan filsafat dari ideologi dan agama yang memiliki klaim absolut atas
pernyataan-pernyataannya. Itulah argumen yang juga ditawarkan oleh Budi
Hardiman.
Akan tetapi, argumen terakhir ini tidak akan
pernah bisa didapatkan dari sebuah kumpulan tulisan filsafat yang kemudian
didaur ulang menjadi sebuah buku. Pada hemat saya, tesis bahwa filsafat pada
hakekatnya bersifat fragmentaris haruslah dijabarkan lebih jauh dengan
mengolahnya dari bab per bab dengan mendetil, barulah kesimpulan atau argumen utama
buku ini memperoleh keabsahannya, dan bukan dengan kumpulan tulisan-tulisan
filsafat yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya.
Alasan inilah yang mendorong saya untuk
berargumen, bahwa judul yang tepat untuk buku ini bukanlah Filsafat
Fragmentaris, seperti yang diberikan oleh pengarang, melainkan Fragmen-fragmen
Filsafat, yakni potongan-potongan refleksi filsafat yang menjangkau berbagai
tema dan kemudian disatukan dalam satu buku. Rupanya, ketika berdiskusi di
Teater Utan Kayu April 2007 lalu, Rm Sudarminta, kolega pengarang buku ini di
STF Driyarkara, memiliki argumen yang serupa dengan saya, sehingga beliau
menanyakan itu, ketika diskusi sedang berjalan.
Mengapa lebih tepat disebut sebagai
fragmen-fragmen filsafat? Yah, fragmen itu sendiri adalah suatu potongan, suatu
pecahan, dan tulisan di dalam buku ini sebenarnya merupakan potongan-potongan
penting di dalam sejarah filsafat yang memang layak untuk disimak dan
direfleksikan lebih jauh.
Akan tetapi, tesis bahwa filsafat itu pada
hakekatnya bersifat fragmentaris adalah tesis yang, pada hemat saya,
terburu-buru untuk dirumuskan, dan terkesan agak dipaksakan untuk buku ini.
Jika dibahasakan secara ketat, dari potongan-potongan refleksi di dalam bidang
filsafat, kita tidak akan pernah bisa mengambil kesimpulan yang bersifat
ontologis, atau mendasar, tentang hakekat filsafat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar