Judul : Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai
- G30S-PKI Dan Peranan Bung
Karno
Penulis: Soegiarso Soerojo
Penerbit : Inter Masa
Kondisi : Bekas Masih Bagus
Harga buku: Rp 500.000
Pemesanan
: sms 08122742231/ pin BB: 234FB00C/email : empu_online@yahoo.com/
Sinopsis
BUKU kontroversial Siapa Menabur
Angin Akan Menuai Badai (SMAAMB) yang sangat laris itu, ternyata, tak hanya
mendatangkan rezeki. Buku yang, konon, sudah dicetak sebanyak 20 ribu eksemplar
itu, ternyata, juga mengundang gugatan. Soegiarso Soerojo, pengarang buku itu,
digugat oleh Soendoro Hardjoamidjojo, 62 tahun, Bupati Nganjuk 1960-1968.
"Bagaimana ia bisa menyimpulkan Bupati Nganjuk pada 1963 itu bekerja sama
dengan PKI, sebab pada tahun itu saya yang menjadi bupati di sana," kata
Soendoro, sarjana hukum alumni UI Jakarta, yang kini menetap di Malang.
Lebih gawat lagi, buku itu
beredar di saat soal bersih lingkungan ramai dibicarakan seperti sekarang ini.
"Tulisan itu bisa merusak reputasi saya dan keturunan saya," kata
Soendoro ayah lima anak dengan tiga cucu itu. Malah, menurut R.O. Tambunan,
pengacaranya, sejak keluarnya buku yang mendapat pemberitaan luas di media
massa itu, usaha Soendoro sebagai pengacara di Malang jadi macet. Banyak
masyarakat yang khawatir berhubungan dengan advokat senior yang menjadi Ketua
IKADIN Cabang Malang itu. "Saya bukan mendramatisasikan persoalan, tapi
begitulah kenyataannya," ujar Tambunan. Maka Selasa pekan lalu, atas nama
kliennya, Tambunan memasukkan gugatan terhadap Soegiarso Soerojo di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Penulis sekaligus penerbit buku SMAAMB itu diminta
untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1,25 milyar atas kerugian material dan
moral yang diderita penggugat sebagai akibat dari tulisan yang mencemarkan nama
baiknya itu. "Kalau saya menang, uang itu saya sumbangkan ke badan
sosial," kata Soendoro. Selain itu, Soegiarso Soerjo digugat pula agar
membuat pernyataan maaf pada Soendoro yang dimuat di koran daerah, koran
Jakarta, dan koran berbahasa Inggris, selain tulisan di buku itu sendiri mesti
diralat. Ini untuk mengembalikan nama baik Soendoro yang sempat tercemar.
Di bab III SMAAMB, Soegiarso
berkisah bagaimana suasana Indonesia setelah masa demokrasi terpimpin: Soekarno
tambah berkuasa, dan tambah dekat dengan PKI. Dihalaman 181, di bawah judul Ibu
Pertiwi Hamil Tua, Soegiarso mengungkapkan betapa sejak 1963, PKI, sebetulnya,
sudah merasa siap tempur. Itu bukan saja karena jumlah anggotanya kian besar,
tapi juga disebabkan keberhasilan partai itu menyusupkan kadernya di mana-mana.
Di Jawa Tengah, misalnya, Soegiarso menulis bahwa sejumlah bupati dan wali kota
sudah diduduki orang PKI. Begitu pula di Jawa Timur. Ia menyebut contoh: Bupati
Madiun, Magetan, Ngawi, Trenggalek, Banyuwangi, dan Nganjuk. Sedang Wali Kota
Surabaya disebutkannya sebagai fellow traveller (pembonceng) PKI. Memang tak
tersebut nama Soendoro Hardjoamidjojo. Tapi karena di bab tadi ada ditulis
tahun 1963, pantas kalau Soendoro yang pada tahun itu menjadi bupati di sana,
merasa terkait. Apalagi, menurut Soendoro, Bupati Madiun, Magetan, Ngawi,
Trenggalek, dan Banyuwangi, yang disebutkan Soerojo di buku itu, betul adalah
orang PKI. "Tapi saya bukan orang PKI, melainkan PNI," kata Soendoro.
Memang pada 1963, Soendoro yang Ketua I PNI Jawa Timur itu, pernah mendapat
instruksi dari pucuk pimpinan PNI waktu itu, Ali Sastroamidjojo dan Surachman,
agar ia bekerja sama dengan PKI. "Tapi itu saya tolak tegas,"
katanya. Ia memilih bergabung dengan PNI pimpinan Osa Maliki dan Oesep
Ranuwidjaja yang dikenal waktu itu sebagai PNI Osa-Oesep. Dan setelah masa
jabatan bupatinya habis, 1968, ia diangkat menjadi anggota DPR mewakili PNI,
sampai 1971. "Untuk menjadi anggota DPR waktu itu, saya sudah diseleksi
ketat dari keterlibatan dengan G30-S/PKI," kata Soendoro. Karena sikapnya
yang tak mau dekat dengan PKI, pada Januari 1965, Ketua PKI Nganjuk,
Soekardjiman, menudingnya di depan umum sebagai bupati "Nekolim" (neo
kolonialisme-imperialisme). Soendoro pun menuntut Soekardjiman di pengadilan
setempat. Pada sidang perkara itu, massa PKI membanjiri Pengadilan Negeri
Nganjuk dan menteror Soendoro dengan teriakan-teriakan, "bupati
Nekolim". Malah rumahnya pun dicorat-coret massa PKI. Perkara itu tak
sempat diputus pengadilan karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI. Soekardjiman
sendiri sejak itu menghilang, maka perkaranya hilang begitu saja. Soegiarso
Soerojo, 57 tahun, bekas perwira intelijen yang kini menjadi Pemimpin Umum dan
Pemimpin Redaksi Majalah Sarinah itu, membantah ia pernah menyebut nama Soeroso
Hardjoamidjojo dalam bukunya, maupun dalam wawancara dengan wartawan.
"Saya hanya menuliskan Bupati Nganjuk. Kapan saya menyebut nama Soendoro?
Saya kenal dia saja tidak, buat apa saya memfitnahnya?" ujar Soegiarso
Soerojo kepada wartawan TEMPO Gunung Sardjono. Sebetulnya, 29 September yang
lalu, Soendoro sudah mengirim surat kepada Soegiarso Soerojo. Surat tiga
halaman itu menjelaskan peranannya pada 1963, dan membantah tulisan Soegiarso
di dalam buku SMAAMB. "Pada pokoknya, surat itu meminta agar soal ini
diselesaikan secara kekeluargaan," kata Soegiarso. Ia heran mengapa
sekarang soal ini sampai di pengadilan. Pada 7 Oktober, Soegiarso membalas
surat itu. "Saya minta maaf serta bersedia menghapus dan meralat soal
itu," ujar Soegiarso. Tapi kebetulan pada saat itu SMAAMB cetakan kedua --
September 1988 -- sudah selesai dikerjakan. Maka Soegiarso membuat ralat di
secarik kertas yang ditempelkan pada halaman pertama buku yang sekarang sudah
beredar. Sejumlah buku cetakan pertama (Mei 1988) yang belum terjual di toko
buku Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat, juga ditempeli kertas ralat itu.
Menurut rencana Soegiarso, pada
cetakan ketiga nanti -- kini sedang diproses kata-kata "Bupati
Nganjuk" itu akan dihapuskan. Sejumlah ralat lain juga disertakan. Kalimat
yang menyebutkan bahwa Mohamad Hatta pernah dipecat oleh Stalin dari
keanggotaan Komunisme Internasional karena dianggap revisionis, juga dicabut.
Kalimat lain yang mengatakan bahwa Sneevliet, pendiri PKI di Indonesia, itu
pernah menjadi anak buah Tan Malaka di Hong Kong, juga masuk daftar ralat. Sekalipun
demikian, hak Soendoro untuk menggugat, tetap ada. "Sekarang semua sudah
kepalang basah, tunggu sajalah nanti di pengadilan," ujar Soegiarso, bekas
pemimpin harian Angkatan Bersenjata yang 28 September lalu mendapat penghargaan
sebagai penegak pers Pancasila dari PWI itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar